Bicara pada Bintang
Hai bintangku,
Kamu sendirian di langit sana.
*Terimakasih Rabb, bintangku masih Kau beri cahaya terang untuk menemaniku disini.
Bintang,
Kau masih selalu setia tetap terang untukku. Tidakkah kau lelah?
*aku mau deh kaya kamu
Saat langit gelap gulita, saat langit tersaput awan, saat bintang yang lain terkalahkan, kau hebat! (hihihi) kau masih berusaha mengintipku, sepertinya memastikan aku baik-baik saja yaa (geer)
Bintangku,
Kau selalu bersinar di langit timur sana. Aku selalu pastikan itu setiap malam. Allah menciptakanmu untuk bersinar disana. Biarpun tersaput awan, biarpun terkalahkan kabut hitam, allah mengizinkanmu untuk tetap dapat kulihat. Agar aku merasakan kehadiranNya melalui keMahaBesaran lukisan langitNya.
*malam ini ditambah dengan belaian lembutNya melalui angin malam, dan sedikit usapan halusNya yang disampaikan gerimis.
Bintangku,
hh.. (mulai bercerita)
begini ya rasanya terkungkung dalam belenggu masa lalu. Rasanya sakit. Sungguh ingin lepas. Kalau bisa benar-benar ingin lari, tak mau hiraukan lagi si masa lalu itu. Dulu yang namanya kenangan ataupun masa lalu selalu aku pelihara rapih. Aku kunci rapat. Namun ternyata entah sadar atau tidak, sedikit demi sedikit aku mencoba membukanya sampai akhirnya dia merasa cukup punya nyali untuk menghantuiku.
Kupikir, aah.. biarlah...masa lalu kan bisa jadi cermin buat kita. Taunya, bukan cermin untuk memperbaiki diri, sekali lagi antara sadar ataupun tidak, dia perlahan membujukku untuk berteman kembali. Sungguh, aku tak ingin.
Bintangku,
Aku telah mengenalnya cukup lama. Amat lama malah. Di saat teman-temanku hanya tahu sebagaimana umumnya, aku lebih banyak tahu dibandingkan mereka. Nuansanya sudah sehari-hari aku rasakan. Namun, aku yang terlalu bebal, terlalu sombong dengan tak menghiraukan kedatangnnya. Aku tepis hanya karena gengsi. Aku abaikan dengan pembenaran-pembenaran akal. Sekarang Allah mempertemukanku dengannya, sekali lagi (*Allah Baik Banget yaa, :’( ) dengan cara yang paling amat kusukai. Dia datang langsung ke dalam hatiku, sebuah tempat yang amat sangat sensitif. Allah, sungguh aku tak ingin lepaskannya. Sungguh, aku ingin terus bersamanya. Jika bisa, aku ingin hidup bersamanya, selamanya.
Bintangku,
Kau tahu rasanya? Tentram.. damai sekali. Memang baru sebagian kecil yang aku rasakan. Tapi jika kau dapat sentuh ia, kau akan menangis haru, menangis bahagia, menangis ketakutan, takut dia pergi karena kepongahan kita.
Namun, ketika genggamannya tak ingin kulepaskan, ketika kehadirannya kucoba pertahankan, bayang-bayang masa lalu itu terus datang. Ketika ku tahu sesuatu itu salah, kembali aku teringat dahulu. Dahulu pun aku begitu. Melakukan yang salah itu. Rasanya tak sanggup untuk sedikit mengingatkan. Ketika sedang berjalan tenang, tiba-tiba saja ada yang membisikkan sebuah kalimat yang mengingatkanku pada segumpal dosa dahulu kala.
Sungguh, aku pun ingin seperti mereka, yang telah menggenggamnya erat. Ingin seperti mereka yang begitu kuat mempertahankannya. Seperti mereka yang bisa kuat, tegak berdiri dengan ia disisinya. Aku ingin seperti mereka. Bukan.. bukan dengan topeng yang kebanyakan orang bilang ‘munafik’. Tidak. Bukan dengan itu. Sungguh, aku menginginkannya. Aku tak ingin ia pergi lagi dari hatiku. Sungguh, Allah sudah begitu baik, memberikannya dengan cara yanga amat kusukai. Aku inginkannya, bintangku.
*rabb, ijinkan ia tetap bersamaku sampai kau memintanya kembali dengan caraMu yang amat aku sukai
Bintangku,
Aku ingin sepertimu, sejak lama. Menjadi bintang, memberi cahaya bagi sekelilingku. Sekali lagi, awalnya aku begitu sombong, merasa telah bisa sepertimu. Nyatanya semua itu hanya mengantarkan pada yang semu, sesaat.
Bintangku,
Aku ingin sepertimu yang dapat menerangi orang banyak. Dengan cara baru, cara yang amat Rabbku sukai. Namun untuk itu, aku harus ditempa dulu, seperti kau dulu ditempa. Aku harus belajar banyak, termasuk belajar tak menengok masa laluku lagi. Belajar kuat, tegak berdiri sekalipun banyak yang mengusik, menyangsikan aku. belajar menggenggamnya kuat. Belajar mempertahankannya agar tak lagi pergi. Belajar untuk menerangi diriku sendiri sampai nanti aku dapatkan cahaya seterang kau.
*aku merasakan kehadirannya sekali lagi. Aah, masih ada di hatiku rupanya. Allah menyapaku malam ini. Ia menemani kesendirianku dengan terangnya gemintang. Ia belai aku dengan lembutnya angin malam. Ia hibur aku dengan orkestra alam –gesekan dedaunan, merdunya jangkrik, dan desah angin-. Terimakasih Allah
Catatan seseorang dengan sedikit perubahan.
Ditulis kembali di bandung, 25 Agustus 2010
22.33 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar